Bismillahirrohmannirohim
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas nikmatnya yang telah diberikan, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad,SAW
Teman-teman pembaca yang budiman, saya ucapkan terima kasih sudah mengunjungi blog ini.Artikel ini saya muat dengan tujuan ingin berbagi pengetahuan dengan pembaca sekalian, semoga bermanfaat.
Menjelang bulan Ramadhan yang sudah dekat, saya dan keluarga ingin berziarah ke makam Ayah saya di kampung, dan agar lebih mengerti makna ziarah kubur itu sendiri, berikut pelajaran yang saya kutip dari situs web http://ikhwanmuslim.com/akidah-dan-manhaj/ziarah-kubur-2-adab-adab-ziarah-kubur.
Artikel ini berusaha mengupas permasalahan ziarah kubur ditinjau dari perspektif Islam, dimulai dari definisi, tujuan pensyariatan, hukum, berbagai jenis ziarah kubur dan beberapa adab dalam berziarah kubur.
Pembahasan ini kami sajikan secara ringkas agar pembaca dapat memahaminya dengan mudah serta kami berusaha meminimalkan perkataan kami dan memaksimalkan penyebutan ayat dan hadits yang secara tekstual gampang dipahami. Tidak lupa kami juga menyertakan beberapa perkataan ulama terpercaya untuk mempermudah dan mempertegas maksud. Silahkan membaca!
Definisi Ziarah Kubur
Secara etimologi ziarah berasal dari kata زَارَهُ يَزُورُهُ زِيَارَةً وَزَوْرًا yang berarti قَصَدَهُ, yaitu hendak bepergian menuju suatu tempat (al Mishbahul Munir 4/119, lihat juga al Qamus al Fiqhi 1/160). Berdasarkan hal ini makna dari berziarah kubur adalah قَصَد اْلقُبُوْرَ , sengaja untuk bepergian ke kuburan.
Sedangkan dalam terminologi syar’i, makna ziarah kubur adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh al Qadli ‘Iyadl rahimahullah,
زيارة القبور قصدها للترحم عليهم والإعتبار بهم
“(Yang dimaksud dengan ziarah kubur) adalah mengunjunginya dengan niat mendo’akan para penghuni kubur serta mengambil pelajaran dari keadaan mereka” (al Mathla’ ‘alaa Abwabil Fiqhi 1/119; Asy Syamilah).
Secara etimologi ziarah berasal dari kata زَارَهُ يَزُورُهُ زِيَارَةً وَزَوْرًا yang berarti قَصَدَهُ, yaitu hendak bepergian menuju suatu tempat (al Mishbahul Munir 4/119, lihat juga al Qamus al Fiqhi 1/160). Berdasarkan hal ini makna dari berziarah kubur adalah قَصَد اْلقُبُوْرَ , sengaja untuk bepergian ke kuburan.
Sedangkan dalam terminologi syar’i, makna ziarah kubur adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh al Qadli ‘Iyadl rahimahullah,
زيارة القبور قصدها للترحم عليهم والإعتبار بهم
“(Yang dimaksud dengan ziarah kubur) adalah mengunjunginya dengan niat mendo’akan para penghuni kubur serta mengambil pelajaran dari keadaan mereka” (al Mathla’ ‘alaa Abwabil Fiqhi 1/119; Asy Syamilah).
Pensyariatan Ziarah Kubur
Di awal perkembangan Islam, ziarah kubur sempat dilarang oleh syari’at. Pertimbangan akan timbulnya fitnah syrik di tengah-tengah umat menjadi faktor terlarangnya ziarah kubur di waktu itu. Namun, seiring perkembangan dan kemajuan Islam, larangan ini dihapus dan syari’at menganjurkan umat Islam untuk berziarah kubur agar mereka dapat mengambil pelajaran dari hal tersebut, diantaranya mengingat kematian yang pasti dan akan segera menjemput sehingga hal tersebut dapat melembutkan hati mereka dan senantiasa mengingat kehidupan akhirat yang akan dijalani kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كنت نهتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب، وتدمع العين، وتذكر الاخرة، ولا تقولوا هجرا
“Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Ziarahilah kubur, sesungguhnya hal itu dapat melembutkan hati, meneteskan air mata, dan mengingatkan pada kehidupan akhirat. (Ingatlah) jangan mengucapkan perkataan yang batil ketika berziarah kubur.” (HR. Hakim 1/376 dan selainnya dengan sanad hasan, lihat Ahkamul Janaiz hal.180).
An Nawawi rahimahullah dalam al Majmu’ 5/310 mengatakan,
كان النهي أولا لقرب عهدهم من الجاهلية فربما كانوا يتكلمون بكلام الجاهلية الباطل، فلما استقرت قواعد الاسلام، وتمهدت أحكامه، واشتهرت معالمه أبيح لهم الزيارة
“Semula dikeluarkannya larangan tersebut disebabkan mereka baru saja terlepas dari masa jahiliyah. Terkadang mereka masih menuturkan berbagai perkataan jahiliyah yang batil. Tatkala pondasi keislaman telah kokoh, berbagai hukumnya telah mudah untuk dilaksanakan, berbagai rambunya telah dikenal, maka ziarah kubur diperbolehkan”
Berdasarkan hal ini, ziarah kubur merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh syari’at sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها
“Dulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur, namun sekarang berziarah kuburlah kalian.” (HR. Muslim nomor 977).
Di awal perkembangan Islam, ziarah kubur sempat dilarang oleh syari’at. Pertimbangan akan timbulnya fitnah syrik di tengah-tengah umat menjadi faktor terlarangnya ziarah kubur di waktu itu. Namun, seiring perkembangan dan kemajuan Islam, larangan ini dihapus dan syari’at menganjurkan umat Islam untuk berziarah kubur agar mereka dapat mengambil pelajaran dari hal tersebut, diantaranya mengingat kematian yang pasti dan akan segera menjemput sehingga hal tersebut dapat melembutkan hati mereka dan senantiasa mengingat kehidupan akhirat yang akan dijalani kelak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كنت نهتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب، وتدمع العين، وتذكر الاخرة، ولا تقولوا هجرا
“Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Ziarahilah kubur, sesungguhnya hal itu dapat melembutkan hati, meneteskan air mata, dan mengingatkan pada kehidupan akhirat. (Ingatlah) jangan mengucapkan perkataan yang batil ketika berziarah kubur.” (HR. Hakim 1/376 dan selainnya dengan sanad hasan, lihat Ahkamul Janaiz hal.180).
An Nawawi rahimahullah dalam al Majmu’ 5/310 mengatakan,
كان النهي أولا لقرب عهدهم من الجاهلية فربما كانوا يتكلمون بكلام الجاهلية الباطل، فلما استقرت قواعد الاسلام، وتمهدت أحكامه، واشتهرت معالمه أبيح لهم الزيارة
“Semula dikeluarkannya larangan tersebut disebabkan mereka baru saja terlepas dari masa jahiliyah. Terkadang mereka masih menuturkan berbagai perkataan jahiliyah yang batil. Tatkala pondasi keislaman telah kokoh, berbagai hukumnya telah mudah untuk dilaksanakan, berbagai rambunya telah dikenal, maka ziarah kubur diperbolehkan”
Berdasarkan hal ini, ziarah kubur merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh syari’at sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها
“Dulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur, namun sekarang berziarah kuburlah kalian.” (HR. Muslim nomor 977).
Hukum Ziarah Kubur
Ziarah kubur dianjurkan bagi kaum pria berdasarkan hadits Abu Hurairah radliallahu ‘anhu,
زار رسول الله صلى الله عليه وسلم قبر أمه فبكى وأبكى من حوله وقال استأذنت ربي عز وجل في أن أستغفر لها فلم يؤذن لي واستأذنت في أن أزور قبرها فأذن لي فزوروا القبور فإنها تذكركم الموت
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menziarahi kubur ibu beliau, kemudian beliau menangis sehingga membuat para sahabat di sekelilingnya menangis. Beliau lalu berkata, “Tadi aku meminta izin kepada Rabb-ku ‘azza wa jalla agar aku dibolehkan berdo’a memohon ampun bagi ibuku, namun hal itu tidak diperkenankan. Kemudian aku memohon agar aku dperbolehkan mengunjungi kuburnya, maka hal ini diperbolehkan bagiku. Oleh karena itu ziarahilah kubur, karena hal itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. An Nasaai nomor 2007; Ibnu Abi Syaibah 3/223; Al Baihaqi dalam Al Kubra 4/70,76; Hakim nomor 1339 dengan sanad yang shahih).
Teks hadits ini dan juga pernyataan an Nawawi sebelumnya menunjukkan secara tegas bahwa ziarah kubur disyari’atkan bagi kaum pria. Namun para ulama berselisih pendapat mengenai hukum ziarah kubur bagi wanita.
Terdapat beberapa pendapat dalam masalah ini, namun secara garis besar pendapat tersebut terbagi menjadi dua kelompok, antara yang mengharamkan dan membolehkan atau menganjurkan. Pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat yang membolehkan wanita untuk berziarah kubur, akan tetapi yang patut diingat adalah mereka dilarang sesering mungkin berziarah kubur. Pendapat inilah yang menggabungkan berbagai dalil yang dikemukakan oleh dua kelompok tersebut.
Berikut dalil-dalil yang menyatakan bolehnya wanita berziarah kubur.
Hadits yang berasal dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha, dari Abdullah bin Abi Mulaikah, dia berkata,
أن عائشة أقبلت ذات يوم من المقابر فقلت لها : يا أم المؤمنين من أين أقبلت ؟ قالت : من قبر أخي عبد الرحمن بن أبي بكر فقلت لها : أليس كان رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن زيارة القبور قالت نعم كان نهى ثم أمر بزيارتها
“Pada suatu hari ‘Aisyah pulang dari kuburan. Maka aku bertanya padanya, “Wahai Ummul Mukminin, darimanakah engkau?” Maka beliau menjawab, “Dari kubur Abdurrahman bin Abi Bakr.” Maka aku menukas, “Bukankah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ziarah kubur?” Beliau pun menjawab, “Benar, namun kemudian beliau memerintahkannya.” (HR. Hakim nomor 1392, Al Baihaqi dalam Sunanul Kubra nomor 6999 dengan sanad yang shahih).
Dalam sebuah hadits yang panjang dan diriwayatkan oleh Muhammad bin Qais bin Makhramah ibnil Muththallib dari bibinya, Ummul Mukminin, ‘Aisyah radliallahu ‘anha ketika beliau membuntuti nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendatangi pekuburan Baqi’ di suatu malam. Setibanya di rumah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada ‘Aisyah bahwa Allah memerintahkannya untuk mengunjungi penghuni kuburan Baqi’ dan memintakan ampunan bagi mereka. Maka ‘Aisyah kemudian bertanya, “Lalu apa yang akan aku katakan pada mereka?” Kata beliau, “Ucapkanlah,
السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Semoga keselamatan tercurah kepadamu, wahai kaum muslimin dan mukminin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka yang telah mendahului kami maupun yang akan menyusul, dan kami insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim nomor 974, An Nasaai 2037, Al Baihaqi nomor 7003, Abdurrazzaq nomor 6722).
Persetujuan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan seorang wanita yang beliau tegur di sisi kubur. Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu berkata,
مر النبي صلى الله عليه وسلم بامرأة تبكي عند قبر فقال ( اتقي الله واصيرري )
“Rasulullah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur, kemudian beliau berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah!” (HR. Bukhari nomor 1223, 6735).
Ziarah kubur dianjurkan bagi kaum pria berdasarkan hadits Abu Hurairah radliallahu ‘anhu,
زار رسول الله صلى الله عليه وسلم قبر أمه فبكى وأبكى من حوله وقال استأذنت ربي عز وجل في أن أستغفر لها فلم يؤذن لي واستأذنت في أن أزور قبرها فأذن لي فزوروا القبور فإنها تذكركم الموت
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menziarahi kubur ibu beliau, kemudian beliau menangis sehingga membuat para sahabat di sekelilingnya menangis. Beliau lalu berkata, “Tadi aku meminta izin kepada Rabb-ku ‘azza wa jalla agar aku dibolehkan berdo’a memohon ampun bagi ibuku, namun hal itu tidak diperkenankan. Kemudian aku memohon agar aku dperbolehkan mengunjungi kuburnya, maka hal ini diperbolehkan bagiku. Oleh karena itu ziarahilah kubur, karena hal itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. An Nasaai nomor 2007; Ibnu Abi Syaibah 3/223; Al Baihaqi dalam Al Kubra 4/70,76; Hakim nomor 1339 dengan sanad yang shahih).
Teks hadits ini dan juga pernyataan an Nawawi sebelumnya menunjukkan secara tegas bahwa ziarah kubur disyari’atkan bagi kaum pria. Namun para ulama berselisih pendapat mengenai hukum ziarah kubur bagi wanita.
Terdapat beberapa pendapat dalam masalah ini, namun secara garis besar pendapat tersebut terbagi menjadi dua kelompok, antara yang mengharamkan dan membolehkan atau menganjurkan. Pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat yang membolehkan wanita untuk berziarah kubur, akan tetapi yang patut diingat adalah mereka dilarang sesering mungkin berziarah kubur. Pendapat inilah yang menggabungkan berbagai dalil yang dikemukakan oleh dua kelompok tersebut.
Berikut dalil-dalil yang menyatakan bolehnya wanita berziarah kubur.
Hadits yang berasal dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha, dari Abdullah bin Abi Mulaikah, dia berkata,
أن عائشة أقبلت ذات يوم من المقابر فقلت لها : يا أم المؤمنين من أين أقبلت ؟ قالت : من قبر أخي عبد الرحمن بن أبي بكر فقلت لها : أليس كان رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن زيارة القبور قالت نعم كان نهى ثم أمر بزيارتها
“Pada suatu hari ‘Aisyah pulang dari kuburan. Maka aku bertanya padanya, “Wahai Ummul Mukminin, darimanakah engkau?” Maka beliau menjawab, “Dari kubur Abdurrahman bin Abi Bakr.” Maka aku menukas, “Bukankah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ziarah kubur?” Beliau pun menjawab, “Benar, namun kemudian beliau memerintahkannya.” (HR. Hakim nomor 1392, Al Baihaqi dalam Sunanul Kubra nomor 6999 dengan sanad yang shahih).
Dalam sebuah hadits yang panjang dan diriwayatkan oleh Muhammad bin Qais bin Makhramah ibnil Muththallib dari bibinya, Ummul Mukminin, ‘Aisyah radliallahu ‘anha ketika beliau membuntuti nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendatangi pekuburan Baqi’ di suatu malam. Setibanya di rumah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada ‘Aisyah bahwa Allah memerintahkannya untuk mengunjungi penghuni kuburan Baqi’ dan memintakan ampunan bagi mereka. Maka ‘Aisyah kemudian bertanya, “Lalu apa yang akan aku katakan pada mereka?” Kata beliau, “Ucapkanlah,
السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Semoga keselamatan tercurah kepadamu, wahai kaum muslimin dan mukminin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka yang telah mendahului kami maupun yang akan menyusul, dan kami insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim nomor 974, An Nasaai 2037, Al Baihaqi nomor 7003, Abdurrazzaq nomor 6722).
Persetujuan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan seorang wanita yang beliau tegur di sisi kubur. Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu berkata,
مر النبي صلى الله عليه وسلم بامرأة تبكي عند قبر فقال ( اتقي الله واصيرري )
“Rasulullah melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur, kemudian beliau berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah!” (HR. Bukhari nomor 1223, 6735).
Catatan!
Wanita tidak diperbolehkan untuk sesering mungkin berziarah kubur, karena hal tersebut akan menghantarkan kepada perbuatan yang menyelisihi syari’at seperti berteriak, tabarruj (bersolek di depan non mahram), menjadikan pekuburan sebagai tempat wisata, membuang-buang waktu, dan berbagai kemungkaran lain sebagaimana dapat kita saksikan hal tersebut terjadi di sebagian besar negeri kaum muslimin. Perbuatan inilah yang dimaksud dalam hadits shahih dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu,
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم زوارات القبور
“Sesungguhnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang sering menziarahi kubur.” (HR. Ibnu Majah nomor 1574, 1575, 1576 dengan sanad yang hasan).
Wanita tidak diperbolehkan untuk sesering mungkin berziarah kubur, karena hal tersebut akan menghantarkan kepada perbuatan yang menyelisihi syari’at seperti berteriak, tabarruj (bersolek di depan non mahram), menjadikan pekuburan sebagai tempat wisata, membuang-buang waktu, dan berbagai kemungkaran lain sebagaimana dapat kita saksikan hal tersebut terjadi di sebagian besar negeri kaum muslimin. Perbuatan inilah yang dimaksud dalam hadits shahih dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu,
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم زوارات القبور
“Sesungguhnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang sering menziarahi kubur.” (HR. Ibnu Majah nomor 1574, 1575, 1576 dengan sanad yang hasan).
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
“Laknat yang tercantum dalam hadits tersebut hanyalah diperuntukkan bagi wanita yang sering berziarah kubur, karena lafadz “زوارات” merupakan bentuk mubalaghah (hiperbola). Kemungkinan penyebab laknat tersebut dijatuhkan pada mereka adalah karena para wanita tersebut menyia-nyiakan hak suami (dengan sering keluar rumah-ed), bertabarruj, ratapan dan perbuatan terlarang yang semisal. Terdapat pendapat yang menyatakan apabila seluruh hal tersebut dapat dihindari, maka boleh mmberikan izin kepada wanita untuk berziarah kubur, karena mengingat kematian merupakan suatu perkara yang dibutuhkan oleh pria maupun wanita.”
“Laknat yang tercantum dalam hadits tersebut hanyalah diperuntukkan bagi wanita yang sering berziarah kubur, karena lafadz “زوارات” merupakan bentuk mubalaghah (hiperbola). Kemungkinan penyebab laknat tersebut dijatuhkan pada mereka adalah karena para wanita tersebut menyia-nyiakan hak suami (dengan sering keluar rumah-ed), bertabarruj, ratapan dan perbuatan terlarang yang semisal. Terdapat pendapat yang menyatakan apabila seluruh hal tersebut dapat dihindari, maka boleh mmberikan izin kepada wanita untuk berziarah kubur, karena mengingat kematian merupakan suatu perkara yang dibutuhkan oleh pria maupun wanita.”
Asy Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar (4/95) mengatakan,
وهذا الكلام هو الذي ينبغي اعتماده في الجمع بين أحاديث الباب المتعارضة في الظاهر
“Pendapat ini yang lebih tepat untuk dijadikan pegangan dalam mengkompromikan seluruh hadits dalam permasalahan ini yang sekilas nampak bertentangan.”
وهذا الكلام هو الذي ينبغي اعتماده في الجمع بين أحاديث الباب المتعارضة في الظاهر
“Pendapat ini yang lebih tepat untuk dijadikan pegangan dalam mengkompromikan seluruh hadits dalam permasalahan ini yang sekilas nampak bertentangan.”
An Nawawi dalam al Majmu’ (5/309) setelah menyebutkan dua pendapat yang disebutkan oleh Ar Ruyani dalam permasalahan ini, beliau memilih pendapat yang membolehkan wanita untuk berziarah kubur dan berkata,
“Pendapat inilah yang tepat menurutku dengan syarat terbebas dari fitnah. Pengarang al Mustazhhari berkata, “Menurutku apabila ziarah tersebut dilakukan untuk memperbarui kesedihan serta memicu terjadinya ratapan dan tangisan sebagaimana kebiasaan kaum wanita, maka hukumnya haram, sehingga hadits لعن الله زوارات القبور berlaku pada kondisi ini.” Wallahu a’lam.
“Pendapat inilah yang tepat menurutku dengan syarat terbebas dari fitnah. Pengarang al Mustazhhari berkata, “Menurutku apabila ziarah tersebut dilakukan untuk memperbarui kesedihan serta memicu terjadinya ratapan dan tangisan sebagaimana kebiasaan kaum wanita, maka hukumnya haram, sehingga hadits لعن الله زوارات القبور berlaku pada kondisi ini.” Wallahu a’lam.
Tujuan Pensyariatan Ziarah Kubur
Berbagai hadits dan penjelasan yang telah lewat secara tersurat telah menunjukkan tujuan pensyariatan ziarah kubur. Tujuan pensyari’atan ziarah kubur adalah:
Peziarah mengambil manfaat dari ziarah yang dilakukannya, yaitu mengingat kematian dan merenungkan kondisi mereka yang telah wafat, memikirkan bahwa tempat kembali mereka adalah menuju ke surga atau neraka. Hal ini akan melembutkan hati mereka yang keras dan senantiasa memikirkan perjalanan akhirat yang kelak mereka tempuh.
Memberikan manfaat kepada mayit yang diziarahi dan berbuat baik padanya, yaitu dengan mengucapkan salam, mendo’akannya dan memohon ampun baginya apabila dia seorang muslim.
Ummul mukminin ‘Aisyah pernah bertanya pada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal do’a yang diucapkan jika dirinya berziarah kubur, maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Katakanlah,
السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Semoga keselamatan tercurah kepadamu, wahai kaum muslimin dan mukminin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka yang telah mendahului kami maupun yang akan menyusul, dan kami insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim nomor 974).
Inilah tujuan dilakukannya ziarah kubur. Jika ziarah kubur tersebut dilakukan dengan tujuan selain ini, maka hal tersebut tidak sesuai dengan hikmah pensyari’atan ziarah kubur. Ash Shan’ani rahimahullah dalam Subulus Salam (2/162) mengatakan,
وَالْكُلُّ دَالٌّ عَلَى مَشْرُوعِيَّتِهِ زِيَارَةَ الْقُبُورِ وَبَيَانِ الْحِكْمَةِ فِيهَا وَأَنَّهَا لِلِاعْتِبَارِ فإنه في لفظ حديث ابن مسعود ” فإنها عبرة وذكرى للآخرة والتزهيد في الدنيا فَإِذَا خَلَتْ مِنْ هَذِهِ لَمْ تَكُنْ مُرَادَةً شَرْعًا
“Seluruh hadits ini menunjukkan pensyari’atan ziarah kubur serta memuat penjelasan hikmah di balik hal tersebut, yaitu agar mereka dapat mengambil pelajaran tatkala berziarah kubur. Dalam lafadz hadits Ibnu Mas’ud disebutkan hikmah tersebut, yaitu untuk pelajaran, mengingatkan pada akhirat dan agar peziarah senantiasa berlaku zuhud di dunia. Apabila ziarah kubur dilakukan dengan tujuan selain ini, maka ziarah yang dilakukan tergolong sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at.” Wallahu a’lam.
Berbagai hadits dan penjelasan yang telah lewat secara tersurat telah menunjukkan tujuan pensyariatan ziarah kubur. Tujuan pensyari’atan ziarah kubur adalah:
Peziarah mengambil manfaat dari ziarah yang dilakukannya, yaitu mengingat kematian dan merenungkan kondisi mereka yang telah wafat, memikirkan bahwa tempat kembali mereka adalah menuju ke surga atau neraka. Hal ini akan melembutkan hati mereka yang keras dan senantiasa memikirkan perjalanan akhirat yang kelak mereka tempuh.
Memberikan manfaat kepada mayit yang diziarahi dan berbuat baik padanya, yaitu dengan mengucapkan salam, mendo’akannya dan memohon ampun baginya apabila dia seorang muslim.
Ummul mukminin ‘Aisyah pernah bertanya pada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal do’a yang diucapkan jika dirinya berziarah kubur, maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Katakanlah,
السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Semoga keselamatan tercurah kepadamu, wahai kaum muslimin dan mukminin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka yang telah mendahului kami maupun yang akan menyusul, dan kami insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim nomor 974).
Inilah tujuan dilakukannya ziarah kubur. Jika ziarah kubur tersebut dilakukan dengan tujuan selain ini, maka hal tersebut tidak sesuai dengan hikmah pensyari’atan ziarah kubur. Ash Shan’ani rahimahullah dalam Subulus Salam (2/162) mengatakan,
وَالْكُلُّ دَالٌّ عَلَى مَشْرُوعِيَّتِهِ زِيَارَةَ الْقُبُورِ وَبَيَانِ الْحِكْمَةِ فِيهَا وَأَنَّهَا لِلِاعْتِبَارِ فإنه في لفظ حديث ابن مسعود ” فإنها عبرة وذكرى للآخرة والتزهيد في الدنيا فَإِذَا خَلَتْ مِنْ هَذِهِ لَمْ تَكُنْ مُرَادَةً شَرْعًا
“Seluruh hadits ini menunjukkan pensyari’atan ziarah kubur serta memuat penjelasan hikmah di balik hal tersebut, yaitu agar mereka dapat mengambil pelajaran tatkala berziarah kubur. Dalam lafadz hadits Ibnu Mas’ud disebutkan hikmah tersebut, yaitu untuk pelajaran, mengingatkan pada akhirat dan agar peziarah senantiasa berlaku zuhud di dunia. Apabila ziarah kubur dilakukan dengan tujuan selain ini, maka ziarah yang dilakukan tergolong sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at.” Wallahu a’lam.
Berbagai Jenis Ziarah Kubur
Tidak semua ziarah yang dilakukan oleh kaum muslimin sesuai dengan syari’at. Para ulama dalam beberapa kitab telah menerangkan berbagai bentuk tata cara ziarah kubur yang sesuai dengan tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, praktek para sahabat dan ulama salaf. Tidak luput, mereka juga menjelaskan berbagai praktek yang keliru ketika seorang berziarah kubur, tentunya kekeliruan tersebut timbul disebabkan ketidaktahuan pelakunya.
Dengan demikian, pengategorian praktek ziarah kubur yang dilakukan oleh kaum muslimin adalah suatu yang niscaya. Sehingga dengan adanya pengategorian tersebut, setiap muslim mampu mempraktekkan ziarah kubur tanpa perlu diiringi dengan berbagai kekeliruan.
Dari penjelasan para ulama di berbagai kitab mereka, ziarah kubur terbagi tiga kategori sebagai berikut:
Tidak semua ziarah yang dilakukan oleh kaum muslimin sesuai dengan syari’at. Para ulama dalam beberapa kitab telah menerangkan berbagai bentuk tata cara ziarah kubur yang sesuai dengan tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, praktek para sahabat dan ulama salaf. Tidak luput, mereka juga menjelaskan berbagai praktek yang keliru ketika seorang berziarah kubur, tentunya kekeliruan tersebut timbul disebabkan ketidaktahuan pelakunya.
Dengan demikian, pengategorian praktek ziarah kubur yang dilakukan oleh kaum muslimin adalah suatu yang niscaya. Sehingga dengan adanya pengategorian tersebut, setiap muslim mampu mempraktekkan ziarah kubur tanpa perlu diiringi dengan berbagai kekeliruan.
Dari penjelasan para ulama di berbagai kitab mereka, ziarah kubur terbagi tiga kategori sebagai berikut:
Ziarah Syar’iyyah
Ziarah syar’iyyah adalah ziarah kubur yang sesuai dengan tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenai tata cara ziarah kubur yang dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami nukilkan perkataan pengarang Zaadul Ma’ad (1/507). Mari kita simak perkataan beliau,
Ziarah syar’iyyah adalah ziarah kubur yang sesuai dengan tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenai tata cara ziarah kubur yang dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami nukilkan perkataan pengarang Zaadul Ma’ad (1/507). Mari kita simak perkataan beliau,
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menziarahi kubur para sahabatnya untuk mendo’akan dan memintakan ampun bagi mereka. Inilah praktek ziarah kubur yang beliau tuntunkan dan syari’atkan bagi umatnya. Ketika berziarah kubur, beliau memerintahkan umatnya untuk mengucapkan
السلام عليكم أهل الديار من المؤمنين والمسلمين وإنا إن شاء الله بكم لاحقون نسأل الله لنا ولكم العافية
“Semoga keselamatan tercurah bagimu penghuni kampung kediaman kaum muslimin dan mukminin. Dan kami insya Allah akan segera menyusul kalian. Kami memohon kepada Allah agar mencurahkan keselamatan kepada kami dan anda sekalian.” (HR. Ibnu Majah nomor 1547 dengan sanad yang shahih).
Demikianlah, tuntunan beliau dalam berziarah kubur serupa dengan tuntunan beliau tatkala mendo’akan dan memintakan ampun bagi mayit dalam shalat jenazah. Akan tetapi hal ini ditentang oleh kaum musyrikin. Mereka justru berdo’a (meminta) kepada penghuni kubur, menyekutukan Allah dengannya, bersumpah kepada Allah atas nama penghuni kubur, meminta kepadanya untuk memenuhi hajat dan meminta pertolongan serta menyandarkan hati kepadanya yang kesemuanya itu berkebalikan dengan petunjuk nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya tuntunan beliau merupakan tauhid dan perbuatan baik bagi mayit. Sedangkan yang mereka kerjakan adalah kesyirikan dan perbuatan yang akan merugikan diri mereka serta mayit tersebut. Kondisi mereka tidak terlepas dari tiga hal, mereka berdo’a kepada penghuni kubur, atau menjadikannya sebagai perantara dalam do’a mereka atau berdo’a kepada Allah di samping kuburnya dengan keyakinan perbuatan itu lebih utama dan mustajab ketimbang berdo’a di masjid-masjid Allah. Barangsiapa yang merenungkan petunjuk rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, maka perbedaan kedua hal ini akan nampak jelas baginya. Hanya Allah semata Pemberi taufik.”
Ziarah syar’iyyah adalah ziarah kubur yang sesuai dengan tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenai tata cara ziarah kubur yang dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami nukilkan perkataan pengarang Zaadul Ma’ad (1/507). Mari kita simak perkataan beliau,
Ziarah syar’iyyah adalah ziarah kubur yang sesuai dengan tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenai tata cara ziarah kubur yang dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami nukilkan perkataan pengarang Zaadul Ma’ad (1/507). Mari kita simak perkataan beliau,
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menziarahi kubur para sahabatnya untuk mendo’akan dan memintakan ampun bagi mereka. Inilah praktek ziarah kubur yang beliau tuntunkan dan syari’atkan bagi umatnya. Ketika berziarah kubur, beliau memerintahkan umatnya untuk mengucapkan
السلام عليكم أهل الديار من المؤمنين والمسلمين وإنا إن شاء الله بكم لاحقون نسأل الله لنا ولكم العافية
“Semoga keselamatan tercurah bagimu penghuni kampung kediaman kaum muslimin dan mukminin. Dan kami insya Allah akan segera menyusul kalian. Kami memohon kepada Allah agar mencurahkan keselamatan kepada kami dan anda sekalian.” (HR. Ibnu Majah nomor 1547 dengan sanad yang shahih).
Demikianlah, tuntunan beliau dalam berziarah kubur serupa dengan tuntunan beliau tatkala mendo’akan dan memintakan ampun bagi mayit dalam shalat jenazah. Akan tetapi hal ini ditentang oleh kaum musyrikin. Mereka justru berdo’a (meminta) kepada penghuni kubur, menyekutukan Allah dengannya, bersumpah kepada Allah atas nama penghuni kubur, meminta kepadanya untuk memenuhi hajat dan meminta pertolongan serta menyandarkan hati kepadanya yang kesemuanya itu berkebalikan dengan petunjuk nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya tuntunan beliau merupakan tauhid dan perbuatan baik bagi mayit. Sedangkan yang mereka kerjakan adalah kesyirikan dan perbuatan yang akan merugikan diri mereka serta mayit tersebut. Kondisi mereka tidak terlepas dari tiga hal, mereka berdo’a kepada penghuni kubur, atau menjadikannya sebagai perantara dalam do’a mereka atau berdo’a kepada Allah di samping kuburnya dengan keyakinan perbuatan itu lebih utama dan mustajab ketimbang berdo’a di masjid-masjid Allah. Barangsiapa yang merenungkan petunjuk rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, maka perbedaan kedua hal ini akan nampak jelas baginya. Hanya Allah semata Pemberi taufik.”
Ziarah Bid’iyyah
Ziarah bid’iyyah adalah tata cara ziarah kubur yang menyelisihi tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mengandung berbagai pelanggaran yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid dan dapat menghantarkan pada kesyirikan. Diantaranya adalah berziarah ke kubur dengan tujuan beribadah kepada Allah di sisi kubur, atau bertujuan untuk mendapatkan berkah (tabarruk/ngalap berkah).
Tidak terdapat dalil shahih yang menyatakan keutamaan beribadah di samping kubur bahkan terdapat dalil shahih yang secara tegas melarang peribadatan di kuburan.
Abul ‘Abbas al Harrani rahimahullah mengatakan,
الزِّيَارَةُ الْبِدْعِيَّةُ : فَمِنْ جِنْسِ زِيَارَةِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى وَأَهْلِ الْبِدَعِ الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ قُبُورَ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ مَسَاجِدَ وَقَدْ اسْتَفَاضَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْكُتُبِ الصِّحَاحِ وَغَيْرِهَا أَنَّهُ قَالَ عِنْدَ مَوْتِهِ :{لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ مَا فَعَلُوا} قَالَتْ عَائِشَةُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – : وَلَوْلَا ذَلِكَ لَأُبْرِزَ قَبْرُهُ وَلَكِنْ كُرِهَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا ،
“Ziarah Bid’iyyah semodel dengan ziarah kubur yang dilakukan oleh Yahudi, Nasrani dan pelaku bid’ah yang menjadikan kubur para nabi, orang shalih sebagai tempat peribadatan. Padahal telah tersebar luas dalam berbagai kitab Shahih dan lainnya bahwa beliau bersabda, menjelang beliau wafat, “Allah melaknat Yahudi dan Nasrani karena menjadikan kubur para nabi mereka sebagai tempat peribadatan”, beliau memperingatkan umat dari perbuatan mereka. ‘Aisyah berkata, “Seandainya bukan karena hal tersebut, tentulah beliau akan dimakamkan di pemakaman umum. Akan tetapi karena dikhawatirkan kubur beliau dijadikan sebagai tempat peribadatan (maka beliau di makamkan di dalam rumah, ed).”
Beliau rahimahullah melanjutkan,
“Maka yang dimaksud dengan tata cara ziarah bid’iyyah adalah seperti bersengaja untuk shalat atau berdo’a di samping kubur para nabi atau orang shalih, menjadikan penghuni kubur tersebut sebagai perantara dalam doa, meminta kepada penghuni kubur untuk menunaikan hajatnya, meminta pertolongan padanya, atau bersumpah kepada Allah dengan perantaraan penghuni kubur atau yang semisalnya. Semua hal tersebut merupakan bid’ah yang tidak pernah dilakukan seorang sahabat, tabi’in dan tidak juga dituntunkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dicontohkan oleh Khulafur Rasyidin, bahkan para imam kaum muslimin yang masyhur melarang seluruh hal tersebut.” (Majmu’ul Fataawa 24/334-335).
Ziarah bid’iyyah adalah tata cara ziarah kubur yang menyelisihi tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mengandung berbagai pelanggaran yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid dan dapat menghantarkan pada kesyirikan. Diantaranya adalah berziarah ke kubur dengan tujuan beribadah kepada Allah di sisi kubur, atau bertujuan untuk mendapatkan berkah (tabarruk/ngalap berkah).
Tidak terdapat dalil shahih yang menyatakan keutamaan beribadah di samping kubur bahkan terdapat dalil shahih yang secara tegas melarang peribadatan di kuburan.
Abul ‘Abbas al Harrani rahimahullah mengatakan,
الزِّيَارَةُ الْبِدْعِيَّةُ : فَمِنْ جِنْسِ زِيَارَةِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى وَأَهْلِ الْبِدَعِ الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ قُبُورَ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ مَسَاجِدَ وَقَدْ اسْتَفَاضَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْكُتُبِ الصِّحَاحِ وَغَيْرِهَا أَنَّهُ قَالَ عِنْدَ مَوْتِهِ :{لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ مَا فَعَلُوا} قَالَتْ عَائِشَةُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – : وَلَوْلَا ذَلِكَ لَأُبْرِزَ قَبْرُهُ وَلَكِنْ كُرِهَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا ،
“Ziarah Bid’iyyah semodel dengan ziarah kubur yang dilakukan oleh Yahudi, Nasrani dan pelaku bid’ah yang menjadikan kubur para nabi, orang shalih sebagai tempat peribadatan. Padahal telah tersebar luas dalam berbagai kitab Shahih dan lainnya bahwa beliau bersabda, menjelang beliau wafat, “Allah melaknat Yahudi dan Nasrani karena menjadikan kubur para nabi mereka sebagai tempat peribadatan”, beliau memperingatkan umat dari perbuatan mereka. ‘Aisyah berkata, “Seandainya bukan karena hal tersebut, tentulah beliau akan dimakamkan di pemakaman umum. Akan tetapi karena dikhawatirkan kubur beliau dijadikan sebagai tempat peribadatan (maka beliau di makamkan di dalam rumah, ed).”
Beliau rahimahullah melanjutkan,
“Maka yang dimaksud dengan tata cara ziarah bid’iyyah adalah seperti bersengaja untuk shalat atau berdo’a di samping kubur para nabi atau orang shalih, menjadikan penghuni kubur tersebut sebagai perantara dalam doa, meminta kepada penghuni kubur untuk menunaikan hajatnya, meminta pertolongan padanya, atau bersumpah kepada Allah dengan perantaraan penghuni kubur atau yang semisalnya. Semua hal tersebut merupakan bid’ah yang tidak pernah dilakukan seorang sahabat, tabi’in dan tidak juga dituntunkan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dicontohkan oleh Khulafur Rasyidin, bahkan para imam kaum muslimin yang masyhur melarang seluruh hal tersebut.” (Majmu’ul Fataawa 24/334-335).
Begitupula mencari berkah di kuburan dengan mengusap atau menciumnya. Ini termasuk perbuatan aneh dan tidak pernah dituntunkan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apalagi dipraktekkan para sahabat beliau radliallahu ta’ala ajma’in.
An Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Barangsiapa yang terbersit di benaknya bahwa mengusap tangan (di kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau semisalnya) lebih mampu untuk mendatangkan berkah, maka hal tersebut berasal dari kebodohan dan kelalaiannya karena berkah hanya dapat diperoleh dengan amal yang sesuai dengan syari’at. Bagaimana bisa karunia Alloh diperoleh dengan melakukan amal yang menyelisihi kebenaran.” (Al Majmu’ 8/275).
An Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Barangsiapa yang terbersit di benaknya bahwa mengusap tangan (di kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau semisalnya) lebih mampu untuk mendatangkan berkah, maka hal tersebut berasal dari kebodohan dan kelalaiannya karena berkah hanya dapat diperoleh dengan amal yang sesuai dengan syari’at. Bagaimana bisa karunia Alloh diperoleh dengan melakukan amal yang menyelisihi kebenaran.” (Al Majmu’ 8/275).
Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah menyatakan tabarruk terhadap kubur merupakan ciri kaum Yahudi dan Nasrani
فإن المس والتقبيل للمشاهد عادة النصارى واليهود
“Sesungguhnya mengusap dan mencium kubur (untuk mendapatkan berkah) merupakan kebiasaan kaum Nasrani dan Yahudi.” (Ihya’ ‘Ulumuddin 1/254).
فإن المس والتقبيل للمشاهد عادة النصارى واليهود
“Sesungguhnya mengusap dan mencium kubur (untuk mendapatkan berkah) merupakan kebiasaan kaum Nasrani dan Yahudi.” (Ihya’ ‘Ulumuddin 1/254).
Ziarah yang mengandung penentangan terhadap tauhid dan dapat menghilangkan keimanan. Diantaranya berziarah kubur dengan tujuan meminta bantuan dan pertolongan pada penghuni kubur, menyembelih kurban untuk penghuni kubur (baca: sesajen). Hal tersebut merupakan bentuk beribadah kepada selain Allah dan apabila pelaku sebelumnya adalah orang Islam, maka dia telah murtad, keluar dari Islam. ِImam an Nawawi rahimahullah mengatakan,
وَأَمَّا الذَّبْح لِغَيْرِ اللَّه فَالْمُرَاد بِهِ أَنْ يَذْبَح بِاسْمِ غَيْر اللَّه تَعَالَى كَمَنْ ذَبَحَ لِلصَّنَمِ أَوْ الصَّلِيب أَوْ لِمُوسَى أَوْ لِعِيسَى صَلَّى اللَّه عَلَيْهِمَا أَوْ لِلْكَعْبَةِ وَنَحْو ذَلِكَ ، فَكُلّ هَذَا حَرَام ، وَلَا تَحِلّ هَذِهِ الذَّبِيحَة ، سَوَاء كَانَ الذَّابِح مُسْلِمًا أَوْ نَصْرَانِيًّا أَوْ يَهُودِيًّا ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيّ ، وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ أَصْحَابنَا ، فَإِنْ قَصَدَ مَعَ ذَلِكَ تَعْظِيم الْمَذْبُوح لَهُ غَيْر اللَّه تَعَالَى وَالْعِبَادَة لَهُ كَانَ ذَلِكَ كُفْرًا ، فَإِنْ كَانَ الذَّابِح مُسْلِمًا قَبْل ذَلِكَ صَارَ بِالذَّبْحِ مُرْتَدًّا
“Adapun menyembelih untuk selain Allah, maka maksudnya adalah menyembelih dengan menyebut nama selain Allah ta’ala. Seperti orang yang menyembelih untuk berhala, salib, Musa, Isa alaihimassalam, atau untuk Ka’bah dan semisalnya. Seluruh perbuatan ini haram, daging sembelihannya haram dimakan, baik si penyembelih seorang Muslim, Nasrani ataupun Yahudi. Demikian yang ditegaskan imam Asy Syafi’i dan disetujui oleh rekan-rekan kami. Apabila si penyembelih melakukannya dengan diiringi pengagungan terhadap objek tujuan penyembelihan, yaitu makhluk selain Allah dan dalam rangka beribadah kepadanya, maka hal ini merupakan kekafiran. Apabila pelaku sebelumnya adalah seorang muslim, maka dengan perbuatan tersebut dia telah murtad” (al Minhaj Syarh Shahih Muslim 13/141).
Adab-adab Ziarah Kubur
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah pernah berkata, “Memuliakan mayit yang berada di kubur serupa dengan memuliakannya di rumah yang ditempati semasa hidupnya di dunia, karena kubur yang dia tempati saat ini telah menjadi kediaman (baru)
baginya”[1].
baginya”[1].
Kita layak memperhatikan apa yang beliau katakan. Perkataan beliau tersebut menunjukkan seorang muslim meski telah wafat, berhak untuk mendapatkan perlakuan santun dari saudaranya yang masih hidup sebagaimana perlakuan tersebut ia dapatkan semasa hidupnya di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang santun dan sangat memperhatikan hak-hak sesama penganutnya, meskipun mereka tidak lagi hidup di dunia ini.
Faktor yang memperkuat kenyataan tersebut adalah Islam telah mengatur berbagai adab yang berkaitan dengan praktek ziarah kubur, setiap muslim sepatutnya memperhatikan berbagai adab tersebut. oleh karena itu, secara ringkas akan kami paparkan beberapa adab ziarah kubur yang dapat kami kumpulkan disertai dengan berbagai dalil dari al Qur-an dan sunnah nabi yang shahih diiringi dengan pernyataan para ulama. Berikut beberapa adab ziarah kubur yang berhasil kami kumpulkan.
Ikhlas dan Mengharapkan Pahala dari Ziarah Kubur yang akan Dilakukan
Seyogyanya setiap muslim menyadari bahwa ziarah kubur merupakan ibadah karena pelaksanaannya diperintahkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah kita ketahui.
“Kamu menganggapnya suatu yang sepele, padahal dia di sisi Allah adalah besar” (An Nuur: 15).
Oleh sebab itu, ziarah tersebut diniatkan untuk mendapatkan pahala dan bukan diiringi dengan tendensi-tendensi tertentu. Betapa banyak peziarah tidak menyadari hal ini sehingga dirinya terluput dan terhalang untuk mendapatkan pahala.
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ (١٥)
Mengucapkan salam kepada Penghuni Kubur
Dianjurkan bagi peziarah untuk mengucapkan salam kepada para penghuni kubur tatkala memasuki areal pekuburan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menuntunkan ucapan salam tersebut dalam beberapa hadits beliau, diantaranya,
اَلسَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ
“Semoga keselamatan tercurah kepadamu, wahai kaum muslimin dan mukminin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka yang telah mendahului kami maupun yang akan menyusul, dan kami insya Allah akan menyusul kalian.”[2].
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوُمِ مُؤْمِنِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
“Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni kampong kediaman kaum mukminin. Kami insya Allah akan segera menyusul kalian.”[3].
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وِالْمُسْلِمِيْنَ وِإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ . نَسْأَلُ اللهِ لَنَا وَلَكُمُ العَافِيَةَ
“Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, penghuni kampong kediaman, dari kalangan muslimin dan mukminin. Ssungguhnya kami akan menyusul kalian. Kami memohon kepada Allah agar keselamatan diberikan kepada kami serta kalian.”[4].
Namun, tidak disyari’atkan mengucapkan salam tatkala berziarah ke pekuburan orang kafir. Bahkan disyari’atkan untuk memberitakan kepada mereka bahwa adzab neraka akan segera mereka dapatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan pada seorang Badui dengan sabda beliau,
حيث ما مررت بقبر كافر فبشره بالنار
“Kabarkanlah kepada orang kafir bahwa neraka telah menanti jika engkau melewati kuburnya”.
Tatkala Badui tersebut telah masuk Islam, maka diapun mengatakan,
لقد كلفني رسول الله صلى الله عليه وسلم تعبا ما مررت بقبر كافر إلا بشرته بالنار
“Sungguh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan tugas yang membuatku capek. (Sejak beliau memerintahkanku), saya mengabarkan bahwa adzab neraka telah menanti setiap kali diriku melewati kubur orang kafir”[5]
Melepas Sandal dan Tidak Berjalan di Atas Kubur
Peziarah diharuskan melepas sandal ketika memasuki areal pekuburan dan tidak berjalan di atas kubur sebagai bentuk penghormatan kepada saudaranya sesama kaum muslimin yang telah wafat. Hal ini dinyatakan dalam hadits Basyir bin Ma’bad radhiallahu ‘anhu, “Pada suatu hari saya berjalan bersama rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba beliau melihat seorang yang berjalan di areal pekuburan dengan memakai sandal, maka beliau menegurnya, “Yaa shahibas sibtiyyatain (wahai yang menggunakan dua sandal), celaka engkau, lepaskan sandalmu!” Orang tersebut melongok kepada yang menegurnya, tatkala dia mengetahui orang tersebut adalah rasulullah, serta merta dia mencopot kedua sandalnya.”[6].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأن أمشي على جمرة أو سيف أو أخصف نعلي برجلي أحب إلي من أن أمشي على قبر مسلم . وما أبالي أوسط القبور قضيت حاجتي أو وسط السوق
“Sungguh, aku berjalan di atas bara api atau pedang, atau aku ikat sandalku dengan kakiku lebih aku sukai daripada berjalan di atas kubur seorang muslim. Dalam pandanganku, kejelekannya sama saja, buang hajat di tengah kubur atau di tengah pasar.”[7].
Abu Dawud rahimahullah berkata,
“Aku melihat Imam Ahmad, jika beliau mengiringi jenazah dan telah mendekati areal pekuburan, beliau melepas kedua sandalnya.”[8].
Al ‘Allamah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah mengatakan,
“Siapapun yang merenungkan larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk duduk di atas kubur, bersandar dan berjalan di atasnya, tentu dia akan mengetahui bahwasanya larangan tersebut bertujuan untuk menghormati para penghuni kubur sehingga manusia tidak menginjakkan kaki pada kepala mereka dengan sandal. Oleh sebab itu, beliau pun melarang untuk buang air di antara kuburan dan memberitakan bahwa duduk di atas bara api hingga membakar baju itu lebih baik ketimbang duduk di atas kubur. Hal ini tentunya lebih ringan daripada berjalan diantara kuburan dengan menggunakan sandal. Kesimpulannya: wajib menghormati mayit yang mendiami kuburnya sebagaimana penghormatan tersebut dilakukan di rumah yang dikediami semasa hidupnya. Sesungguhnya kubur tersebut telah menjadi kediaman baginya.” [9].
Mendo’akan Ampunan bagi Mayit, Tidak Mendo’akan Keburukan atau Mencelanya
Dari penjelasan pengarang Zaadul Ma’ad yang telah lewat mengenai tata cara ziarah kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita temukan bahwa peziarah dianjurkan untuk mendo’akan ampunan bagi mayit, sebagaimana hal ini juga terkandung dalam salam yang diucapkan ketika memasuki pekuburan.
Tidak boleh bagi peziarah untuk mendo’akan keburukan bagi saudaranya yang telah wafat.
Terdapat hadits yang menyatakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a bagi penghuni kubur. Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha, dirinya berkata, “Pada suatu malam, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumah. Maka aku mengutus Barirah untuk membuntuti beliau, agar dirinya mengetahui kemana gerangan beliau pergi.” Aisyah melanjutkan, “Ternyata beliau pergi ke pemakaman Baqi’ul Gharqad. Beliau berdiri di ujung pemakaman tersebut sembari mengangkat tangannya (untuk berdo’a), kemudian beliau pun pergi. Barirah pun kembali dan memberitahukan hal tersebut kepadaku. Tatkala pagi menjelang, aku pun bertanya kepada beliau, “Wahai rasulullah, kemanakah gerangan engkau semalam?” Aku diperintahkan untuk pergi ke pekuburan al Baqi’ untuk mendo’akan mereka.”[10].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لا تسبوا الأموات فإنهم قد أفضوا إلى ما قدموا
“Janganlah kalian mencela orang yang telah wafat. Sesungguhnya mereka telah mendapatkan ganjaran atas apa yang telah mereka perbuat.”[11].
Mengambil Pelajaran dari Ziarah Tersebut
Hal ini tuntutan dari hikmah pensyari’atan ziarah kubur, yaitu untuk mengingatkan peziarah akan kematian yang akan menjemput dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat yang akan dijalani serta berlaku zuhud di dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ألا فزوروها فإنها ترق القلب، وتدمع العين، وتذكر الاخرة
“Ziarahilah kubur, sesungguhnya hal itu dapat melembutkan hati, meneteskan air mata dan mengingatkan pada kehidupan akhirat”[12].
Tidak Bercanda ketika Berziarah Kubur
Ziarah kubur dilakukan untuk mengingatkan peziarah terhadap kehidupan akhirat bahwa dirinya akan mengalami kematian seperti yang dialami penghuni kubur. Tidak selayaknya jika peziarah malah bercanda, melakukan guyon di areal pekuburan karena hal tersebut bertentangan dengan tujuan pensyari’atan ziarah kubur, melalaikan hati dan salah satu bentuk ketidaksopanan terhadap penghuni kubur dari kalangan kaum muslimin. Ash Shan’ani mengatakan, “Seluruh hadits ini menunjukkan pensyari’atan ziarah kubur serta memuat penjelasan hikmah di balik hal tersebut, yaitu agar mereka dapat mengambil pelajaran tatkala berziarah kubur. Dalam lafadz hadits Ibnu Mas’ud disebutkan hikmah tersebut, yaitu untuk pelajaran, mengingatkan pada akhirat dan agar peziarah senantiasa berlaku zuhud di dunia. Apabila ziarah kubur dilakukan dengan tujuan selain ini, maka ziarah yang dilakukan tergolong sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at.”[13].
Menjauhi Perkataan-perkataan Batil seperti Meratap atau Menangis dengan Meraung-raung
Boleh bagi peziarah untuk menangis jika teringat akan kebaikan mayit atau semisalnya berdasarkan hadits Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, dia berkata,
“Aku turut menghadiri pemakaman anak perempuan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau duduk di samping kuburnya. Aku melihat kedua mata beliau mengucurkan air mata.”[14].
Terdapat juga atsar dari Hani, maula Utsman radliallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa Utsman sering menangis apabila melewati areal pekuburan[15].
Namun yang harus dihindari jangan sampai tangisan tersebut justru membuat dirinya meratap, mengucapkan atau melakukan perbuatan yang mengundang kemurkaan Allah ta’ala dan menghilangkan kesabaran sehingga menampakkan bahwa dirinya tidak menerima ketetapan Allah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من نيح عليه فإنه يعذب بما نيح عليه يوم القيام
“Barangsiapa yang ditangisi dan diiringi dengan ratapan, maka ia akan merasa tersiksa pada hari kiamat kelak disebabkan ratapan tersebut.”[16].
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إن الله لا يعذب بدمع العين ولا بحزن القلب ولكن يعذب بهذا – وأشار إلى لسانه
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengadzab disebabkan bercucurnya air mata atau bersedihnya hati. Namun Allah membuatnya tersiksa dengan sebab (ratapan) yang diucapkan oleh lisan seseorang-beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan menunjuk lisannya.”[17].
Imam asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Akan tetapi tidak boleh mengatakan perkataan yang terlarang di samping kubur, seperti menyumpah serapahi diri sendiri atau meratap. Namun, jika anda berziarah untuk memintakan ampun bagi mayit, melembutkan hati anda dan mengingat akirat, maka hal ini tidak aku benci.”[18].
Demikianlah uraian yang dapat kami sampaikan pada kesempatan ini. Semoga bermanfaat bagi diri kami pribadi dan sidang pembaca.
[1] Tahzib ‘Aunul Ma’bud 7/216; Asy Syamilah.
[2] HR. Muslim nomor 974, An Nasaai 2037, Al Baihaqi nomor 7003, Abdurrazzaq nomor 6722
[3] HR. Muslim nomor 249
[4] HR. Ibnu Majah nomor 1547 dengan sanad yang shahih
[5] HR. Ath Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabir 1/145, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ahkaamul Janaaiz hal. 251
[6] HR. Abu Dawud nomor 3230 dengan sanad hasan
[7] HR. Ibnu Majah nomor 1567 dengan sanad yang shahih
[8] Al Masaail hal. 158, dinukil dari Ahkaamul Janaaiz hal. 253
[9] Aunul Ma’bud 7/216
[10] HR. Ahmad nomor 24656 dengan sanad yang shahih, lihat Ash Shahihah nomor 1774
[11] HR. Bukhari nomor 1329
[12] HR. Hakim 1/376 dan selainnya dengan sanad hasan, lihat Ahkamul Janaiz hal.180
[13] Subulus Salam 2/162
[14] HR. Bukhari nomor 1291, Muslim nomor 933
[15] HR. Ibnu Majah nomor 4267 dengan sanad yang hasan
[16] HR. Muslim nomor 933
[17] HR. Bukhari nomor 1304
[18] al Umm 1/317
--------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar